Suaraairlangga.com, Lamongan – Berbagai produk olahan dari bahan baku kedelai telah banyak ditemukan di pasaran, diantaranya berupa tempe, susu kedelai, dan lainnya. Produk – produk tersebut diketahui banyak manfaatnya, yakni selain sebagai penambah nutrisi berupa protein nabati, bagi konsumen produk olahan kedelai tersebut, juga dari sisi pelaku usaha terjadi peningkatan ekonomi kreatif, sisi sosial dapat mengurangi pengangguran jika dikelola dengan serius.
Yang menarik dengan perkembangan produk olahan dengan bahan baku kedelai ini, akan berpeluang meningkatkan penghasilan petani, dan dapat mempengaruhi peningkatan harga kedelai local. Sehingga akhirnya akan berimbas pada kesejahteraan petani yang menanam kedelai, dan mempengaruhi perekonomian nasional dengan ketahanan pangan.
Hal itu bukanlah angan – angan yang mustahil, karena secara Sumberdaya Alam Indonesia ini dapat diandalkan. Sumberdaya alam yang layak ditanami kedelai perlu dikelola dengan baik dan bijaksana. Berdasarkan data Sekretarian Kabinet Republik Indonesia yang diposkan pada 12 November 2014, Provinsi Jawa Timur (Jatim) merupakan lumbung kedelai terbesar di Indonesia yang menyumbang sekitar 42% produksi kedelai nasional.
Produksi kedelai Jatim tahun 2013 tercatat 329.461 ton atau 42,23% dari produksi kedelai nasional yang mencapai 779.992 ton, sementara pada tahun 2014 produksi kedelai Jatim diperkirakan mencapai 326.154 ton atau 36,37% dari angka ramalan kedelai nasional yang diperkirakan mencapai 896.602 ton. Bagaimana Kedelai jawa timur di taun 2017 ini?
Dalam diskusi Lingkar Studi Masyarakat dan Lingkungan menilai, bahwa adanya kegagalan panen kedelai pada kawasan Perluasan Areal Tanam (PAT) kedelai di kawasan hutan KPH Mojokerto di musim tanam awal 2017. Hal ini diduga karena benih yang digunakan / ditanam oleh petani pesanggem kualitasnya kurang bagus dan beberapa faktor lainnya, sehingga petani mengalami kerugian.
Angga Septa Virgiawan selaku aktivis Lingkar Studi Masyarakat dan Lingkungan Bidang Kehutanan menyampaikan dalam diskusi, bahwa pesanggem (Red : petani hutan) akan sangat merugi jika bantuan yang diberikan pemerintah berupa benih kedelai yang kualitasnya buruk.
“Kerugian itu berupa waktu yang digunakan dan tenaga yang dikeluarkan untuk menanam kedelai tersebut dan tenaga serta waktu tersebut erat kaitannya dengan biaya perawatan,” ujar Angga Septa Virgiawan, Jum’at (20/10/2017) dalam rilis yang dikirim ke media.
Sedangkan Cak Ali Wafa yang juga aktivis Lingkar Studi Masyarakat dan Lingkungan bidang Ekonomi masyarakat menyampaikan, bahwa potensi kedelai di Jatim jika diolah dengan akan meningkatkan nilai tambah secara ekonomi
“Potensi kedelai untuk dijadikan bahan olahan yang bisa meningkatkan nilai tambah kedelai itu sendiri cukup besar peluangnya. Karena baik pasar lokal jatim maupun pasar luar jatim masih membutuhkan kedelai lokal yang diasumsikan lebih sehat dari pada kedelai impor,” jelas Ali Wafa bersemangat.
Untuk diketahui, kebutuhan pasar akan bahan baku kedelai cukup tinggi dan akhirnya pelaku usaha cenderung menggunakan bahan kedelai impor. Hal ini dialami oleh Abrianto pelaku usaha dari Kecamatan Maduran, Kabupaten Lamongan yang memiliki produk “Soya Brinto” yang lebih banyak berupa susu kedelai dan variannya.
“Kami ingin menggunakan kedelai local untuk produk – produk Soya Brinto, karena selain sehat juga harganya lebih murah, yang otomatis menjadikan keuntungannya akan lebih maksimal. Akan tetapi, kendala kami belum bisa mengakses bahan berupa kedelai itu langsung dari petani, sehingga niatannya itu harus ditunda. Jadi dengan demikian kami masih harus memakai bahan dari kedelai import untuk produk Soya Brinto,” tandas Abrianto.
Dari kejadian yang ada, perlu langkah yang ditindak lanjuti secara serius dari pihak terkait, baik dari sisi teknis penanaman kedelainya (pemilihan benih, pemberian bantuan benih dan lainnya) maupun sisi sosial ekonomi dari kedelai itu sendiri, sehingga kedelai dapat menjadi lebih bermanfaat dari hulu sampai hilir, dan akhirnya dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat. *[JP]