Oleh : Gus Glory Muchtar
Namanya Bu Sulimah. Punya seorang anak usia 7,5 tahun, Khoirun Nisa. Hari itu datang ke sekolah kami, mendaftarkan anaknya. Berbusana sederhana. Sikapnya sahaja. Saat mengisi data, dia mengosongkan kolom penghasilan di blangko pendaftaran. “Kenapa bu.?”. “Karena penghasilan saya tidak tetap, pak”.
“Kalau gitu anak ibu bisa memperoleh beasiswa dari lembaga kami”. “Enggak pak. Terima kasih. Insya Allah saya sanggup kok pak. Saya enggak mau jadi tangan di bawah”. “Ini komitmen lembaga kami lho bu..”. “Gapapa pak. Saya hanya ingin diberi dispensasi untuk mengangsur semampu saya”. Staf kamipun hanya bisa diam.
Guru saya, Abi Muchtar, merintis pesantren dengan modal yang sangat cekak. Toh demikian beliau sangat menjaga kehormatan misi. Sangat selektif terhadap bantuan, jangan sampai ada udang di balik batu. Silahkan berpartisipasi membantu asal jangan kasih syarat ini itu. Enggan menengadahkan tangan meminta minta.
Bahkan saat ortu beliau ingin membantupun beliau tolak dengan halus. Karena beliau punya misi menyadarkan ortunya agar berhenti dari kegemaran kleniknya. Beliau tidak ingin ortunya enggan mendengarkan ajakan beliau hanya karena merasa sudah membantu. “Ojo njalukan..”, pesan beliau pada kami.
Nabi Muhammad pernah ditawari oleh para pembesar negeri Mekah paket menggiurkan. Mau dijadikan raja, memilih perempuan paling cantik, harta sebanyak yang diinginkan. Asal menghentikan misi dakwah beliau.
Nabi menjawab, “Andai kau berikan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, gunung Uhud kalian jadikan emas, aku takkan menghentikan dakwahku ini!”. Sebuah ketegasan prinsip yang mencerminkan integritas misionaris sejati. Pantang menukarkan kemuliaan ideologi dengan kerendahan materi.
“Bu Sulimah, sekali lagi pihak yayasan menawarkan beasiswa penuh untuk anak ibu..”. “Enggak pak. Saya hanya minta diberi kelonggaran mengangsur meski sehari 10 atau 20 ribu. Karena saya hanya jualan bakso keliling yang sehari paling dapat laba antara 50 sampai 100 ribu”.

MADRASAH IBTIDA’IYAH (MI) RARE MUCHTARY Denpasar, Bali memang kami dirikan untuk menjangkau mereka yang tak terjangkau. Reach to the unreached. Tidak ada uang gedung. Hanya bayar seragam dan buku.
Biaya SPP maupun pendaftaran paling terjangkau se- Denpasar. Itupun hanya bagi yang mampu. Beasiswa penuh bagi yang tidak mampu. Disediakan asrama dan full perawatan bagi anak yatim dan yang terlantar.
Meski biaya baju dan pendaftaran hanya ratusan ribu, Bu Sulimah tetap menolak dengan halus. Hari berikutnya Bu Sulimah konsisten mengangsur. “Kenapa sih bu kok ga mau nerima bantuan?”. “Saya sudah cukup bersyukur karena saya sudah keliling ke seluruh sekolah, nggak ada yang menerima saya mengangsur harian begitu. Sehingga anak saya terlambat sekolah setahun.
Hanya di sini yang mau terima anak saya, untuk itu, saya berterima kasih. Saya masih kuat bekerja kok pak. Berikanlah bantuan itu pada mereka yang lebih membutuhkan dari saya”, jawabnya sambil menyerahkan sepuluh lembar dua ribuan.
Ya.. Bangsa Indonesia bukan bangsa pengemis. Manusia Indonesia pantang menghiba hanya demi kaum borjuis. Bangsa ini bangsa yang memegang teguh nilai, dan dignity (Harga diri, Kewibawaan, Martabat, Keluhuran, Keagungan, dan Kemuliaan) Ibu Pertiwi. Lebih baik jadi tukang sol sepatu daripada menunggu receh para benalu.
Sejarah bangsa ini dipenuhi teladan para pejuang. Memilih mati meregang nyawa daripada menjilat kaki para jumawa. Manusia yang tidak serakah dan tahu bagaimana menikmati hidup dengan banyak bersyukur. Bangsa “tangan di atas”. Gemar memberi dan pandai berterima kasih. Menempatkan kehormatan bangsa dan agama diatas kebutuhan materi dan sorotan TV.
Saya rasa Bu Sulimah sedang mengajari kita bagaimana mempraktikkan hidup dengan prinsip seperti para Nabi. Dulu, “Bu Sulimah” adalah profil mayoritas penghuni negeri ini. Entah kini.. Karena kemulian hidup saat itu lebih banyak diukur dari gelimangnya materi..
Salam Damai. Bismillah..
Penulis adalah : Putra dari Bapak Guru MA Muchtar, Pendiri Pondok Pesantren Sumber Pendidikan Mental Agama Allah (SPMAA), Kabupaten Lamongan, Jawa Timur.