Oleh : Ismail Suardi Wekke, Ph.D.
Salah satu standar nasional yang mulai diterapkan di beberapa perguruan tinggi, kewajiban mahasiswa walaupun masih strata satu untuk menulis publikasi artikel. Namun demikian, kewajiban tersebut tidak bisa langsung diterapkan begitu saja. Diperlukan sosialisasi dan juga kapasitas mahasiswa yang dilatih secara berkelanjutan.
Pertama, saat OSPEK atau apapun namanya, orientasi perkuliahan memberikan pelatihan kepada mahasiswa untuk mengenal ragam manajemen referensi seperti Mendeley atau Zotero. Dengan demikian, sebelum duduk di bangku kuliah hari pertama, mahasiswa sudah memiliki keterampilan menggunakan aplikasi untuk membantu meningkatkan produktifitas riset.
Kedua, perkuliahan yang dilaksanakan tidak lagi sekadar makalah, untuk mata kuliah tingkat lanjut. Tetapi sudah berbentuk artikel. Dengan demikian, mahasiswa sudah terbiasa dengan pola penulisan artikel. Ini akan membantu mereka dalam mempersiapkan artikel sebagai syarat lulus. Diantara mahasiswa itu sudah ada yang menulis dengan sangat bagus, maka artikelnya dapat saja diterbitkan bersama-sama dengan dosennya.
Perkuliahan juga sudah perlu memperkenalkan sejak awal etika publikasi, dimana copy-paste bukanlah perilaku akademik. Untuk itu, orisinalitas karya perlu menjadi syarat utama. Tidak pernah ada kesempatan bagi masyarakat akademik untuk melakukan plagiat. Termasuk dalam kaitan dengan ini cara melakukan rujukan kepada karya orang lain. Kembali lagi, dengan penguasaan terhadap manajemen referensi akan membantu mahasiswa untuk menghindar terhadap godaan plagiat.
Untuk mewujudkan itu, mungkin saja ada pertanyaan yang diajukan, “darimana memulainya?”, maka kelompok fungsional dosen perlu menyepakati keseragaman madzhab referensi yang digunakan. Beberapa pilihannya APA, Vancouver, dan Harvard. Tidak perlu lagi sebuah perguruan tinggi membuat pola tersendiri, akan sangat produktif kalau menggunakan madzhab referensi yang sudah ada.
Metode yang juga perlu diterapkan adalah team teaching. Untuk sebuah mata kuliah, ada tim dosen yang mengajar. Dengan demikian, dosen akan berbagi tugas, antara fokus ke content dan anggota tim yang lain yang akan mendampingi proses penulisan. Sekali lagi, dosen akan secara bersama-sama melatih mahasiswa untuk menguasai keterampilan publikasi.
Lalu kenapa pula mahasiswa harus didampingi dalam mempersiapkan publikasi?. Kecenderungan saat ini, perguruan tinggi mengarah kepada universitas riset. Dengan demikian, mereka hanya akan menerima mahasiswa yang sudah memiliki rekam jejak publikasi. Kita tidak akan mempersiapkan semua mahasiswa kita untuk lanjut ke jenjang magister dan doktor, tetapi beberapa diantaranya akan memilih jalan itu.
Begitu juga dengan kesempatan untuk meraih beasiswa. Mahasiswa akan diminta mengajukan karya tulisnya selain skripsi. Jikalau mahasiswa mengajukan aplikasi ke LPDP, semua perguruan tinggi yang ada dalam daftar LPDP adalah universitas yang berorientasi riset. Untuk itu, calon mahasiswa magister ataupun doktor, sejak awal sudah memiliki kemampuan publikasi.
Sebuah kesempatan emas bagi kita di Indonesia Timur (Papua, Papua Barat, Maluku, dan Maluku Utara). LPDP mulai tahun ini melaksanakan program khusus yang diberi nama beasiswa Indonesia Timur. Maka, tidak ada lagi alasan bagi mahasiswa di empat provinsi itu untuk tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Syarat utamanya adalah lagi-lagi soal publikasi. Untuk itu, agenda utama kita adalah mempersiapkan mereka untuk menguasai keterampilan publikasi.
Jikalau saja ini belum diintegrasikan dalam perkuliahan dan kurikulum, bisa saja ada kegiatan-kegiatan pelengkap yang diadakan secara berkala. Mahasiswa dilatih di luar jam kuliah, peran organisasi kemahasiswaan menjadi vital untuk mendukung kegiatan seperti ini. Mahasiswa didorong untuk mengadakan kegiatan yang berorientasi pada riset dan publikasi.
Akhirnya, atmosfer akademik perguruan tinggi menjadi bagian penting yang perlu dibangun sejak awal. Seremonial yang tidak memberikan tempat terhormat pada aktifitas akademik mulai saatnya dikesampingkan atau bahkan ditinggalkan. Walaupun sebuah perguruan tinggi tidak disebut sebagai perguruan tinggi riset, tetap saja ada banyak hal yang bisa menjadi bagian dari aktifitas riset.
Saat menyampaikan orasi ilmiah di kampus kami saat wisuda sarjana 2016 STAIN Sorong, Gurutta K.H. Prof. Dr. Nasaruddin Umar mengingatkan “perguruan tinggi tidak penting lagi dimana posisinya secara geografis, semua lembaga memiliki kesempatan yang sama untuk bersama-sama menjadi yang terbaik, salah satu instrumennya adalah ICT”.
Ini menjadi peringatan bahwa alasan geografis tidak perlu lagi menjadi pengecualian. Semua perguruan tinggi dapat saja menjadi pilar utama bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Penulis adalah : Kepala PPM – UP STAIN Sorong – Papua Barat & Aktivis MASIKA ICMI