Oleh : Ririn Wulandari
Pendidikan merupakan jembatan mencerdaskan generasi bangsa, pendidikan memiliki peran yang begitu penting dalam kemajuan negeri ini, apabila masyarakat memiliki pendidikan yang lebih baik maka kita tak akan dipandang sebelah mata oleh orang lain bahkan oleh negara lain.
Pendidikan merupakan bekal utama dalam kehidupan. Maka dengan pendidikan kita dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk , mana yang boleh di kerjakan dan yang tidak di kerjakan, begitu pula dengan politik sendiri yang dapat kita saksikan sekarang ini apakah pantas kita mencontohnya?
Kita ketahu sendiri, bahwa politik saat ini adalah politik para elit atau politik yang hanya menguntungkan beberapa pihak. Dengan itu patut kita perhatikan baik-baik kondisi pendidikan saat ini, agar jangan sampai hanya karena politik golongan yang terjadi saat ini, dapat mendoktrin kita sebagai generasi penurus bangsa.
Oleh karenanya, kita harus dapat menanamkan politik yang bermoral serta akidahnya dalam berpolitik, dikarenakan generasi penerus bangsapun hidup didalamnya untuk menyaksikan dan mencontohnya, dan dengan politik yang baik dapat memberikan pendidikan yang baik pula buat generasi penerus bangsa.
Untuk mewujudkan hal tersebut, marilah kita bersama-sama untuk memperhatikan masa depan pendidikan yang akan dicontohkan bagi generasi penerus bangsa ini, karena pendidikan adalah salah satu jalan di mana memberikan kemajuan negeri ini.
Pengaruh Kebijakan Politik dalam Sistem Pendidikan Nasional
Politik dan pendidikan merupakan dua elemen yang penting dalam system sosial politik suatu negara, jadi dengan demikian apabila tidak ada pendidikan yang baik, maka tidak akan ada orang-orang yang mampu menjalankan dan mengelola dunia pemerintahan ataupun dunia politik, dengan itu praktek-praktek politik di Indonesia harus dapat diperbaiki agar dapat menjadi contoh buat generasi penerus bangsa.
Adapula yang harus kita ketahui dan kita kritisi adalah anggaran politik, yang kini jauh lebih besar dibandingkan anggaran pendidikan. Padahal seharusnya anggaran pendidikan harus lebih besar agar memudahkan dalam mewujudkan cita-cita Negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Semua realitas di atas bukannya tanpa sebab, karena di dunia ini selalu berlaku hukum kausalitas, ada sebab pasti ada akibat. Politik pendidikan nasional sejatinya memberi andil, untuk tidak dikatakan menjadi penyebab utama, karena apa yang terjadi dilapangan adalah manifestasi dari regulasi yang ada.
Setiap undang-undang sistem pendidikan nasional pastilah tidak steril dari berbagai kepentingan, utamanya kepentingan pragmatis dan kepentingan ideologis. Kepentingan pragmatis dapat berupa upaya mempertahankan kekuasaan atau mengeruk materi, sedangkan kepentingan ideologis berkaitan dengan menggiring masyarakat pada ideologi atau paham tertentu yang dikehendaki penguasa.
Demikianlah pendidikan sejati semakin sulit ditemukan di negeri ini, karena kebijakan pendidikan nasional terjebak pada pragmatisme. Padahal Pendidikan sejatinya untuk memanusiakan manusia semakin tidak terdengar gaungnya. Yang tersisa hanyalah pendidikan untuk mengisi job tertentu di industri atau birokrasi. Dunia pendidikan kini ‘bertekuk lutut’ pada market demand, permintaan pasar.
Akibatnya sering terjadi booming lulusan dengan spesifikasi atau jurusan yang sama, ujungnya merugikan jurusan itu sendiri, seperti ditutup atau dihapusnya jurusan tertentu di perguruan tinggi. Penutupan atau penghapusan jurusan sebenarnya adalah sesuatu yang aneh, karena kebijakan ini berarti menafikkan kajian ilmu tertentu.
Lebih memprihatinkan lagi pendidikan nasional semakin menunjukkan kegagalannya dalam mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya, yang ada hanyalah output dengan outcome rendah, fragmentasi masyarakat ‘sakit’, utamanya masyarakat yang menderita schizofrenia yakni masyarakat yang tahu hukum tetapi suka melanggar, tahu larangan tetapi diterjang, dan tahu kewajiban namun senantiasa ditinggalkan.
Sistem Pendidikan Nasional dari Masa Orla sampai Orde Reformasi
Pemikiran kritis tentang upaya reengineering pendidikan selalu dimentahkan dan hanya dianggap sebagai macan kertas, yang berarti pula dunia pendidikan gagal membangun wawasan kebangsaan. Semenjak kemerdekaan sampai dengan era reformasi perjalanan politik pendidikan nasional telah mengalami tiga kali perubahan.
Yang pertama adalah kebijakan pendidikan di era orde lama ditahun 1954. Pada masa ini penekanan kebijakan pendidikan pada isu nasionalisasi dan ideologisasi. Penekanan pada kedua bidang tersebut tidak lain karena masa tersebut masa krusial pasca kemerdekaan dimana banyak konflik yang mengarah pada separatisme dan terjadi interplay (tarik ulur) antara pihak yang sekuler dengan agamis.
Implikasi dari kebijakan politik pendidikan pada waktu itu adalah terbentuknya masyarakat yang berjiwa nasionalis dan berpatriot pancasila. Kebijakan politik tersebut sejatinya berupaya menjadi win-win solution dengan mengakomodasi semua kepentingan.
Di sini terjadi konfesi (pengakuan) terhadap keanekaragaman baik budaya, seni, maupun agama. Pada dasarnya upaya membangun nasionalisme melalui pendidikan relatif berhasil, hanya saja kurang diimbangi dengan kebijakan yang lain sehingga kemelut bernegara selalu ada di masa tersebut.
Kebijakan politik pendidikan nasional yang kedua adalah dimasa Orde Baru, yakni dengan dikeluarkannya undang-undang sistem pendidikan di tahun 1989. Berbeda dengan kebijakan di era orde lama, kebijakan di era orde baru memberi penekanan pada sentralisasi dan birokratisasi.
Di masa ini jalur birokrasi sebagai sebuah kepanjangan tangan dari pusat sangat kental. Orang-orang daerah didoktrin sedemikian rupa sehingga menjadi kader-kader yang ‘yes man’, selalu bertaklid buta terhadap kepentingan pusat. Akibat yang terjadi dari kebijakan ini adalah matinya daya kritis, daya kreatif dan daya inovatif, yang ada hanyalah birokrat yang “sendikho dhawuh’.
Bahkan sistem pada masa ini berhasil membunuh idealisme. Orang-orang atau cendekia yang idealis, kritis, dan inovatif tiba-tiba membela ketika masuk pada jalur birokrasi. Di era ini pula terjadi penyeragaman sehingga budaya daerah, seni daerah, dan kearifan lokal mengalami nasib yang tragis, bahkan banyak yang telah mati.
Yang tersisa hanyalah seni dan budaya yang sifatnya mondial. Bahkan istilah BhinnekaTunggal Ika yang sejatinya bermakna berbeda-beda tetapi satu jua telah dimaknai menjadi sesuatu entitas yang seragam, ya serba seragam.
Kebijakan politik pendidikan nasional yang ketiga, adalah kebijakan pendidikan di era reformasi. Kebijakan ini ditandai dengan dikeluarkannya Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No.20 tahun 2003.
Di era reformasi ini penekanannya terletak pada desentralisasi dan demokratisasi. Kewenangan yang semula terletak di pusat dan berjalan secara top-down diubah dengan memberi kewenangan daerah yang lebih luas sehingga pola yang berjalan adalah bottom-up.
Regulasi yang relatif longgar di era reformasi ini ternyata belum memberi angin segar bagi dunia pendidikan, bahkan banyak potensi untuk diselewengkan dengan mengambil dalih demokratisasi dan desentralisasi. Demokrasi telah menjadi kebebasan dan desentralisasi daerah telah menjadi keangkuhan daerah.
Bahkan di era ini masyarakat miskin semakin terpuruk, karena sulitnya mengakses pendidikan tinggi. Lebih dari itu, implementasi kebijakan pendidikan yang demokratis dan mengedepankan potensi daerah semakin dinafikkan. Sebab sistem evaluasi yang masih terpusat, kekerasan dalam pendidikan, dan banyaknya penyimpangan dalam proses pendidikan semakin memberi catatan buram bagi pendidikan di era reformasi ini.
Sebagai penutup, penulis berharap dalam konteks pembangunan demokratisasi dan desentralisasi di Indonesia pada era reformasi ini, peran politik eksekutif dan legislatif untuk memajukan pendidikan begitu besar. Oleh karenanya, ranah politik dan kekuasaan tersebut harus mampu mewujudkan sistem pendidikan yang mencerdaskan dan mencerahkan peradaban bangsa ini.
Penulis adalah : Mahasiswa Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).