Oleh : Arifki
Beberapa waktu lalu kelompok pengelola hutan nagari Simancuang, Kecamatan Pauh Duo, Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat, mendapatkan juara 1 Wana Lestari tahun 2016. Penghargaan yang diberikan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KMLHH) di Gedung Manggala Wana Bakti Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang diwakili Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Selasa (16/08/2016).
Simacuang merupakan Jorong yang dibuka tahun 1974 memiliki masyarakat yang peduli dengan lingkungan. Kepulian itu bisa dilihat dengan ketatnya aturan membuka kawasan hutan atau menebang pohon. Semua itu disebabkan masyarakat Jorong Simancuang mengambil hikmah dari longsor yang pernah menimpa kawasan Bukit Panjang Karang Hitam.
Adanya pelarangan untuk membuka kawasan hutan dan menebang pohon di sekitar Bukit Panjang Karang Hitam. Aturan itu sudah diketahui masyarakat Jorong Simancuang maupun jorong disekitarnnya hingga sekarang. Semangat inilah yang mengawali masyarakat Jorong Simancuang yang nantinya terbentuknya Hutan Nagari Simancuang.
Keinginan masyarakat Jorong Simancuang untuk membentuk Hutan Nagari dengan didampingi Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, maka dibentuklah Lembaga Pengelola Hutan Nagari (LPHN). Setelah itu, pengajuan Hutan Nagari Simancuang dimulai pada tahun 2009 yang didampingi KKI Warsi, Dinas Kehutanan Kabupaten Solok Selatan, dan Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat.
Pada 3 Oktober 2011 keluarlah Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 573/menhut-II/2011 tentang Penetapan Hutan Lindung Sebagai Areal Kerja Hutan Desa / Nagari Alam Pauh Duo seluas 650 ha di Kecamatan Pauh Duo, Kabupaten Solok Selatan.
Kemudian disusul dengan keluarnya Keputusan Gubernur Sumatera Barat Nomor 522-43-2012 tentang Pemberian Hak Pengelolaan Hutan Nagari pada Kawasan Hutan Lindung seluas 650 ha kepada Lembaga Pengelola Hutan Nagari Alam Pauh Duo pada 19 Januari 2012.
Perhutanan Sosial
Prestasi yang didapatkan  pengelola hutannagari Simancuang menjadikan perhutanan sosial menjadi isu menarik dalam dunia lingkungan hidup dan kehutanan saat ini. Perhutanan sosial sarana melibatakan masyarakat untuk mengelola hutannya sendiri dan mereka bisa memanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup dari hasil olahan tersebut.
Perhutanan sosial seperti di jorong Simancuang upaya melibatkan masyarakat untuk mandiri menjaga lingkungan. Semangat menjaga lingkungan itu juga berbarengan dengan terpenuhinya urusan dapur (ekonomi).  Istilah perhutanan sosial  yang mulai dikenal pada 1970-an merupakan usaha menjadikan masyarakat pelaku utama pengelolaan hutan.
Inilah bentuk pengelolaan hutan yang benar dan masyarakat tidak menjadi korban dengan luasnya hutan yang berada di lingkungan mereka. Seperti kata orang minang urang nan makan cubadak awak nan kanai gatahnyo (orang yang memakan nangka kita yang kena getahnya).
Tidak bisa dipungkiri persoalan hutan masalah rumit yang selalu seksi dibicarakan. Selain ini lahan basah siap sedia bagi mafia kayu. Cukup dengan memanfaatkan masyarakat yang terdesak dengan kebutuhan ekonomi.
Dengan biaya murah yang dikeluarkan mafia tadi masyarakat dengan mudah saja menjadi agen bisnis hutan yang merugikan masyarakat pada masa mendatang. Bencana alam, galodo, misalnya secara tidak langsung akan menghantui masyarakat pada waktu yang tidak diduga-duga.
Pada sisi lain, memenuhi ekonomi masyarakat bisa menggunakan perhutanan sosial sebagai upaya mencari bisnis-bisnis kreatif yang tidak lagi bergantung dengan kayu. Aktivitas lingkungan yang kita lakukan dengan KKI Warsi beberapa nagari di Sumatera Barat sudah mulai mencarikan alternatif lain untuk memenuhi kebutuhan hidup.
KKI Warsi yang kegiatannya berfokus pada PBHM tidak hanya mendorong masyarakat untuk mengusulkan daerahnya menjadi hutan nagari. KKI Warsi juga terlibat mencarikan kebutuhan hidup alternatif bagi masyarakat dengan melihat material mentah yang tersedia dan mengolahnya menjadi sumber-sumber ekonomi yang menjanjikan.
Kearifan Lokal
Pengelolan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) juga bisa menjadi alternatif bagi masyarakat tetap menjaga kearifan lokal yang mereka warisi turun temurun. Kebudayaan yang sudah menjadi darah daging bagi masyarakat bisa diupayakan untuk dikembangkan lebih jauh untuk mempromosikan daerah.
Kebudayaan yang masih tersembunyi diperkenalkan kepada publik bisa menjadi lahan perputaraan ekonomi yang menjanjikan di daerah. Misalya, festival kebudayaan yang mendatangkan turis dalam dan luar negeri. Saat wisatawan itu tertarik menyaksikan kebudayaan yang diperkenalkan akan banyak penginapan dan warung makan yang mendapatkan efeknya.
Pengeolaan kebudayaan yang berbasis bisnis sosial bagi masyarakat bisa mengangkat potensi-potensi daerah yang masih tersembunyi. Sumatera Barat kita apresiasi dengan langkah-langkah kepala daerah memperkenalkan objek wisata seperti mandeh, danau singkarak dan lain-lain.
Pengelolaan wisata ini sudah mendapatkan sorotan masyarakat dunia, tetapi sumbar belum bisa mendominasi dalam persoalan kebudayaan pada ranah ini. Wisata-wisata seperti ini hanya bisa memanjakan mata wisatawan dengan keindahan alam yang langsung berefek ke ekonomi masyarakat. Takutnya kearifan lokal seperti kebudayaan yang diwariskan melalui nenek moyang dari generasi ke generasi mulai ditinggalkan.
Saya memiliki wacana kedepan bagaimana membangun bisnis yang tetap mendekatkan masyarakat dengan kebudayaanya. Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mencapai itu.
Pertama, mengembangkan kegiatan pertanian, ladang dan perternakan di masyarakat dengan mengemasnya secara kreatif. Maksudnya bukan mengubah tradisi masyarakat dalam mencari nafkah seperti biasanya. Tetapi, aktivitas ini ditata sebaik mungkin sebagai wadah pendidikan bagi banyak orang terutama wisatawan.
Aktivitas menanam padi, memberi makan itik dan membajak sawah menggunakan kerbau bisa menjdi destinasi wisata yang memberikan edukasi. Wisatawan datang berbondong-bodong ke suatu nagari untuk menyaksikan proses itu berlangsung. Pemerintah hendaknya juga menyediakan lokasi khusus untuk wisatawan belajar menanam padi, memberi makan itik dan membajak sawah.
Kedua, kebudayaan yang berbentuk keseniaan, tari piring, randai dan salung sebagai budaya yang identik dengan Sumatera Barat misalnya juga disiapkan tempat pendidikan bagi wisatawan yang ingin belajar. Semakin banyak orang yang bisa dengan suatu kebudayaan semakin populer dan keberadaannya akan tetap utuh. Mengapa hal ini penting? Karena untuk mewujudkan perhutanan sosial yang menjadi semangat awal bahwa masyarakat berpartisipasi menjaga lingkungan dan kearifan lokal. Bonus-bonus ekonomi yang didapatkan masyarakat dari aktivitas itu adalah efek.
Jadi, mengemas perhutanan sosial yang memiliki benang merah dengan kearifan lokal dengan partisipasi masyarakat untuk mandiri tidak semata-mata meninggalkan nilai-nilai yang sudah melekat puluhan tahun dari generasi ke generasi tetapi mempertemukan antara persoalan lingkungan dan kelestarian kearifan lokal.
Penulis adalah : Pekerja Knowledge Management Specialist Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi