Oleh : Muhammad Barqah Prantama S.AP., M.AP [MBP]
Jebolnya tanggul di pantai muara kapuk Jakarta semacam ‘kode keras’ dari alam. Adalah suatu negeri di eropa sana, yang ketinggian daratannya tidak lebih tinggi dari lautan di sekitarnya. Belanda, itulah nama negerinya. Suatu negeri yang seharusnya punya ikatan ‘emosional’ dengan kita, Indonesia. Tidak kurang dari 350 tahun lamanya, negeri yang negaranya tidak lebih besar dari salah satu pulau di Indonesia ini sanggup untuk menjajah kita.
Negeri mereka yang mahsyur dengan kembang tulip dan kincir anginnya itu boleh dikata dibangun di atas tetesan darah dan airmata pribumi nusantara. Bahkan, saat pecah perang dunia ke dua, saat jepang sudah berhasil menaklukan mereka, lalu jepang ikut ditaklukan oleh Amerika dan sekutunya, emas dan permata para raja di Nusantara yang ‘disimpan’ di bank-bank milik ‘BUMN’ Belanda pada saat itu raib semua entah kemana, secara sepihak mungkin di klaim sebagai ghanimah (pampasan perang) oleh sang Juara.
Jakarta citarasa Belanda, agak berlebihan mungkin terdengarnya. sebuah metafora ‘setengah matang’ untuk menjelaskan betapa miripnya kondisi Jakarta kekinian. metafora dari Jakarta citarasa Belanda ini akan lebih kontras saat kita melihatnya dari dimensi sosial ekonomi dan politik terkini.
Bukan Rasis, hanya Empiris.
Batavia, adalah nama lain dari jakarta yang di sematkan oleh pemerintahan Kolonial Belanda. suatu kawasan yang dihuni oleh pribumi-pribumi yang mayoritas muslim itu dipimpin oleh seorang Gubernur Jendral berbadan tinggi dan berkulit putih. Belanda yang kemudian kita sebut sebagai Kompeni ini menjajah dengan ‘hikmah’. hikmah yang paling dirasakan adalah terbangunnya beberapa infrastruktur vital untuk mereka, yang kemudian secara tipis-tipis dapat pribumi rasakan pada saat itu. bahkan, sampai sekarang masih ada beberapa, bahkan banyak peninggalan berupa bangunan megah, jalan, jembatan, rel kereta dan beberapa bendungan.
Semua fasilitas itu dibangun dalam rangka menggerakkan roda perekonomian barang dan komoditas jajahan mereka, bukan dalam rangka menciptakan kemudahan dan peningkatan pendapatan penduduk pribumi batavia dan nusantara. inilah rupa-rupa yang pertama, yang mulai mengkhawatirkan saya. dimana jebolnya tanggul di suatu kawasan elit di jakarta itu hanya sebuah pertanda dari alam bahwa kini (disaat kita sudah merdeka), terdapat suatu kawasan yang dibangun hanya untuk mereka, ‘warga negara’ istimewa.
Sebagaimana diketahui, aktivitas para kompeni di nusantara ini selalu melokalisir penduduk mereka dari pribumi. mulai dari tempat tinggal, sekolah, hingga pasar tempat berbelanja. mereka mengekspor hasil bumi kita untuk dibawa ke negerinya dan selebihnya dijual kepada negeri yang lain dengan ‘merek’ BUMN mereka, VOC. sembari mengekspor barang hasil alam, mereka pun mengimport orang yang kemudian ditempatkan dikawasan-kawasan khusus sebagaimana tersebut diatas.
Lantas, apa yang membedakan itu semua di masa lalu dengan keadaan yang sekarang? apakah kita berani jujur bahwa sejarah telah terulang ? apakah ini bukti bahwa Neo-Kolonialisme itu benar-benar ada, sehingga teori itu bukan hanya sebentuk agitasi dan propaganda oleh mereka yang kalah ? saya kira kita semua harus mulai berani untuk jujur pada diri sendiri, sehingga rela untuk kembali merenungkannya.
Pasar Ikan, dari Si Pitung hingga Fatahilah.
Maraknya penggusuran atas nama keindahan dan reklamasi di beberapa titik sepanjang garis pantai di jakarta mengingatkan saya pada sebuah peristiwa penting bagi masyarakat betawi dan padjajaran, Sundrapura yang kemudian diubah menjadi Pelabuhan Kalapa adalah salah satu objek vital kerajaan Padjajaran dalam aktivitas perdagangannya. Kalapa menjadi rebutan saat Islam dan penjajah Eropa datang kemudian dirubah oleh Portugis sebagai pemenang menjadi Sunda Kelapa sebelum ditaklukan oleh Fatahillah dari Demak dan dinamakan sebagai JayaKarta (kemenangan dengan perbuatan).
Nama Sunda Kelapa dipertahankan oleh kompeni lewat VOC dalam rangka untuk menciptakan keselarasan dengan ‘teman lama’ yang lebih dulu datang, Portugis. ini penting, agar fokus mereka untuk mencari dan mengeksploitasi rempah-rempah tidak terganggu oleh eksistensi ‘pendahulu’. itu salah satu kecanggihan kompeni, ia mampu total pada tujuan, sehingga relatif lembut dalam perpolitikan.
Kembali ke Jakarta, kita tinggalkan sejenak Batavia. sebagaimana dikemukakan didepan, garis pantai di jakarta sejak dulu, sejak Nusantara masih dijajah, adalah sudah menjadi tempat bertarungnya semua kepentingan. tempat bertarunganya suku, ras, bangsa bahkan agama. sudah tak terhitung berapa korban yang berjatuhan dari perebutan yang sedemikian panjangnya itu. nah, kini jakarta kembali mengalaminya lagi. semacam ‘dejavu politik’ dari masa era kerajaan dan kolonialisme di masa lalu.
Apa benang merah dulu dengan yang sekarang ? apakah kita dapat menemukan motif yang sama dibalik sengketa garis pantai di jakarta ? adalah kurang bijak jikalau kita secara total menyamakan keduanya. Result (hasil) dari sejarahnya mungkin saja sama, tapi motif daripada itu semua boleh dikatakan terdapat perbedaan, sederhanya adalah serupa tapi tak sama. Ending (akhir) nya adalah ekonomi, sama. Jikalau dulu untuk mobilitas faktor-faktor ekonomi dari dalam negeri guna dibawa keluar negeri, maka kini persengketaan itu dimaksudkan untuk membangun sentra-sentra ekonomi guna menampung komoditas ekonomi dari luar.
Jikalau dulu orientasinya adalah dermaga produsen, maka kini adalah dermaga konsumen. dimana barang dan orang bisa di import untuk dipasarkan (serupa tapi beda orientasinya). perusahaan-perusahaan asing berdiri, di manajeri oleh orang asing, apartemen yang belum tentu dihuni oleh pribumi dan juga pertokoan-pertokoan yang menjual barang-barang kualitas import, semua dibangun disana, diatas laut yang ditimbun tanah, dan pribumi yang mendiami jalan ‘menuju’ kesana dianggap ‘menggangu mata’ sehingga harus dibuat musnah.
Jakarta dan Politik Adu Domba, Ahok Gubernur ‘Masbuk’ ?
Sebagai kota metropolitan, Jakarta tentu punya tingkat heterogenitas yang tidak bisa dipertandingkan. Terlebih lagi, secara administratif, Jakarta adalah Daerah Istimewa dan Khusus dengan statu Ibu Kota Negara yang juga berarti sebagai pusat pemerintahan. Implikasinya adalah, struktur masyarakatnya relatif lebih heterogen dibandingkan daerah lain di republik ini.
Kemajemukan ini mencapai bentuk ‘sempurna’ nya saat DKI Jakarta dipimpin oleh seorang Gubernur dari kalangan minoritas. Walaupun tidak dapat dikatakan sebagai suatu proses yang matang, mengingat posisi Basuki Tjahaja Purnama hanya meneruskan jabatan yang ditinggal oleh ‘bos’ nya. Namun, dapatlah kita katakan bahwasannya masyarakat jakarta sudah lebih dapat menerima figur diluar mayoritas dirinya.
Realitas ini bukan tanpa konsekuensi, suhu politik di jakarta perlahan-lahan namun pasti mulai meninggi. Isu SARA mulai merebak dimana-mana. Terlebih lagi kebijakan-kebijakan Gubernur ‘masbuk’ (melanjutkan) ini sarat dengan kontroversi. Mulai dari investasi Pemprov DKI pada perusahaan importir bir (minuman beralkohol), penggusuran di beberapa titik yang dihuni pribumi, reklamasi, pembangunan RS jantung sumber waras yang mendapatkan audit forensi oleh BPK karena terindikasi terjadi penyimpangan, bahkan yang terbaru adalah sang Gubernur melarang siswi muslim yang bersekolah di sekolah negeri pada wilayah kekuasaannya menggunakan hijab.
Secara alamiah, kondisi ini menciptaan friksi ditengah-tengah masyarakat DKI. Bahkan, persoalan yang terjadi di DKI kerap dikonsumsi secara nasional sehingga berefek ke seluruh negeri. Berbagai ‘firqoh’ atau friksi terbentuk, opini beredar secara bebas didunia maya, konfrontatif dan agitatif. Diawali dengan Gerakan Membangun Jakarta yang pada akhirnya menelurkan seorang gubernur tandingan sebagai respon atas apa yang mereka sebut sebagai kesewenang-wenangan seorang Gubernur ‘masbuk’.
Hingga kini, perlawanan terus dilakukan, diperparah dengan munculnya suatu ‘meme’ yang kemudian mencoba untuk memperbandingkan antara pemimpin muslim dan non muslim. Suatu opini dibangun dengan tagline ‘lebih baik pemimpin kafir tapi jujur, daripada muslim tapi korup’ semakin memperuncing keadan. Hal ini sebagai bentuk ‘infidius comparison’ sebagaimana yang disebut seorang sosiolog politik, Keith Faulks. Yaitu suatu kondisi yang mengedepankan perbandingan yang menyakitkan sebagai sebuah argumentasi untuk mendapatkan hak dan kekuasaan.
Secara kasat mata, dapatlah dikatakan bahwa DKI jakarta sedang dalam keadaan rawan, rawan konflik horisontal. Semacam telah terjadi ‘Devide et Impera’ (politik adu domba) yang oleh pemerintahan kolonial Belanda dijadikan sebagai senjata untuk melakukan aneksasi (pendudukan) pada wilayah-wilayah kekuasaan kerajaan-kerajaan di nusantara. Opini yang di bangun (entah dari siapa) seolah sengaja membenturkan pribumi dengan non pribumi, muslim dengan non muslim, bahkan lebih parahnya lagi, muslim dibenturkan dengan sesama muslim di DKI. Kondisi ini mengingatkan kita akan sejarah kelam bangsa yang karena hal yang demikian itu (politik adu domba) sehingga kita berhasil dijajah sehingga 350 tahun lamanya.
Kekuatan-kekuatan elemen masyarakat dipecah belah dengan isu sektarian yang kekanak-kanakan guna men ‘zero-sum’ kan semua kekuatan sosial politik yang ada. Jika kondisi ini dibiarkan berkelanjutan, maka tidak menutup kemungkinan apa yang kita takutkan sebagai Neo-Kolonialisme benar-benar terjadi, sebagaimana adagium yang berkembang ditengah-tengah masyarakat kita bahwa ‘Belanda masih jauh, tapi China sudah dekat’. Semoga sedikit tulisan ini bisa merekonstruksi kembali bangunan berfikir kita, agar lebih rasional dan objektif dalam menyikapi keadaan dan tidak ikut secara aktif terlibat dalam kekeruhan yang seolah direncanakan ini.
Penulis adalah : Chief Executive Officer Of PowerIndonesia (Planning, Policy and Empowering Research Indonesia)