Oleh : Ahmad Burhan Hakim, S.IP., M.IR. (Burhan)
Humanitarian Intervention Dalam Kasus Iraq
Istilah Hak Asasi Manusia (HAM), merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapapun. Hak ini wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia
Sedang Humanitarian intervention atau intervensi kemanusian adalah, adanya suatu campur tangan dari negara lain kepada suatu negara untuk urusan kemanusiaan. Semisal Amerika Serikat dan sekutu, yang menggerahan kekuatan militernya ke Iraq atas nama kemanusiaan dengan alasan yang cukup aneh yakni kecurigaan AS terhadap Saddam Husain yang mengembangkan senjata kimia dan ketidak nyamanan rakyat Irak pada kebijakan Saddam yang otoriter.
Irak sebagai Negara yang berdaulat dan merdeka seolah menghadapi bencana yang luar biasa dengan invasi AS tesebut pada tahun 2003. Dalam piagam PBB disebutkan memang tidak boleh ada intervensi negara lain (luar) untuk persmasalan dalam negeri suatu negara.
Kasus Irak ini tentunya menjadi suatu peristiwa dunia yang harus banyak mendapat pelajaran. Mengingat dalam beberapa kabar yang beredar dan temuan oleh PBB bahwa Irak memang tidak memiliki senjata pemusnah massal seperti yang disebutkan oleh AS.
Bagi penulis alasan utama penyerangan AS ke Irak bermotif ekonomi belaka, lantaran cadangan minyak di AS sudah mulai menipis, sedang kebutuhan bahan bakar dalam negeri meningkat maka alternativenya yakni menyerang Irak yang punya cadangan minyak melimpah.
Jadi AS dan sekutu sangat munafik dan mengada-ada, karena urusan tersebut sebenarnya lebih bersifat dalam negeri irak sendiri bukan urusan AS. Apalagi Saddam Husain dinyatakan sebagai orang yang mengganggu stabilitas keamanan nasional AS, ini sungguh lucu dan tidak masuk akal.
Humanitarian Intervention Dalam Kasus Libya
Libya adalah sebuah negara yang bisa dikatakan makmur walaupun masih dalam kategori negara berkembang. Libya sendiri memang terkenal dengan negara berpenghasilan besar dengan ekpor minyak bumi sebagai salah satu penyumbang terbesar devisa negara.
Namun pada tahun 2011 negara ini mengalami krisis politik yang disebabkan oleh kemauan rakyatnya sendiri untuk melakukan pergantian presiden melalui pemilihan langsung. Hal ini menjadi sebab, karena di Libya selama masa kemerdekaan sampai 2011 belum mengalami pergantian pemimpin.
Gerakan demontrasi yang menuntut pemerintahan khadafi untuk melakukan pemilihan umum dan tentunya melakukan pergantian kepemimpinan. Hal ini membuat khadafi geram, mengingat sudah banyak yang dilakukan oleh khadafi untuk rakyat.
Maka khadafi dengan kuasanya melakukan berbagai macam tindakan untuk meredam aksi tersebut dengan menggunakan pendekatan militer. Militer digunakan khadafi untuk menyerbu demonstran yang menolak atau tidak pro dengan khadafi dan akhirnya menimbulkan banyak korban jiwa.
Dengan adanya korban jiwa yang terjadi di Libya, menyebabkan keamanan di wilayah kawasan terganggu, dan kemudian hal ini direspon cepat oleh masyarakat dunia. Eropa sebagai kontingen yang paling dekat dengan Libya mencoba untuk melakukan intervensi atas nama kemanusiaan pada kasus Libya ini.
Atas nama kepentingan kemanusiaan, maka Dewan Keamanan PBB kemudian mengeluarkan Resolusi 1970 untuk memberlakukan embargo senjata, membekukan asset khadafi dan sepuluh orang yang termasuk dalam lingkaran dekatnya, dan melarang mereka melakukan perjalanan, serta himbauan untuk memberikan bantuan kemanusiaan bagi Libya.
Namun NATO, Amerika dan sekutu khususnya Eropa mengambil tindakan yang cepat dengan melancarkan operasi Odyssey Dawn pada 19 Maret dini hari. Mereka mulai memasuki dan menyerbu target-target pemerintahan di Libya dengan alasan untuk menegakkan Resolusi 1973.
Setelah sekitar lima hari, tongkat kendali humanitarian intervention di Libya diambil alih oleh pasukan koalisi NATO melalui Operation Unified Protection. Pada tanggal 24 Maret, NATO mengambil alih komando operasi laut dan sehari sesudahnya mengambil alih komando operasi udara.
Keterlibatan NATO atas nama kemanusiaan ini memang cukup riskan untuk difahami, alih-alih menyelamatkan rakyat Libya dari kediktaktoran Khadafi semua urusan menjadi serba wajar dan diamini oleh sebagian negara eropa bahkan AS sendiri.
Tentunya dalam hal ini persoalan kedaulatan negara (Libya) menjadi kabur adanya. Mengingat kalo sudah persoalan kemanusiaan yang menjadi motif maka semua batas maupun makna dari negara berdaulat itupun akan hilang sebagai kosenkuensi dari intervensi tersebut.
Hak Asasi Manusia rakyat Libya sebagai bagian dari masyarakat Internasional (cosmopolitanism) menjadi suatu perkara serius bagi negara-negara besar yang berkepentingan atas kemanusiaan. Namun bagi penulis “there is no free lunch”, maksutnya bahwa mereka (NATO dkk) tidak akan mau mengeluarkan biaya besar dengan menerjunkan pasukan militernya hanya untuk persoalan rakyat Libya yang menginginkan demokrasi.
Setelah berbagai macam serangan militer yang dilakukan oleh kelompok pemberontak dan NATO akhirnya Khadafi harus tumbang dan harus meregang nyawa oleh rakyatnya sendiri pada tanggal 20 Oktober 2011.
Motif Ekonomi Dalam Humanitarian Intervention
Persoalan ekonomi politik sama seperti yang terjadi di Iraq yakni dasar yang paling masuk akal atas tindakan NATO kepada Libya. Cadangan minyak mentah Libya yang cukup besar, tentunya menjadi magnet tersendiri bagi NATO untuk melancarkan serangan-serangan tersebut.
Karena apabila dilihat dari persoalan lain yang bersifat kemanuasiaan seperti di Rwanda, Somalia, Myanmar , kamboja dan israel-palestina misalkan yang lebih membutuhkan intervesi asing untuk menyelesaikan persoalan dalam negerinya, para negara adidaya serupa Amerika Serikat seolah bungkam dan menutup mata atas kasus-kasus tersebut.
Bukan memberikan bantuan kemanusian adalah hal yang wajib bagi negara maju?, dengan kapasitas dan kapabilitas militer yang mumpuni tentunya negara-negara besar tersebut diharapkan mampu membantu menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi di negara yang disebutkan diatas.
Nyatanya mereka (AS dan sekutu) seolah hanya akan ikut andil dalam suatu penyelesaian konflik tertentu yang bagi mereka ada suatu timbal balik yang pantas mereka dapatkan setelah mereka melakukan humanitarian intervention pada kasus tersebut( sebut Irak, mesir,Tunisia dan Libya). Will of economi bagi penulis menjadi factor penting dalam keterlibatan negara-negara besar untuk ikut campur dalam persamalahan dalam negeri orang yang katanya bersifat kemanusiaan.
Kemanusiaan dalam model apa yang menjadi tolak ukur negara besar merasa harus ikut campur. Kemanusiaan yang bagaimana yang harus diatasi? Apakah persoalan pembataian muslim palestina oleh israel bukan persoalan kemanusiaan, apakah pembantaian muslim rohingnya oleh pemerintah Myanmar bukan persoalan kemanusiaan?, aksi tebang pilih yang dilakukan negara besar khsusnya Amerika Serikat menunjukkan bahwa mereka tidak serius dalam menegakkan HAM dan menciptakan perdamaian.
PBB sebagai organisasi yang mereprentasikan penduduk dunia malah seolah main mata dengan kejadian-kejadian tersebut. Walaupun dalam piagam PBB termuat bait-bait yang sungguh humanis dan meaning peace,nyata PBB tidak berani menindak tegas negara besar yang melakukan intervensi kemanusiaan yang malah tindakan mereka tidak mencerminkan kemanusiaan itu sendiri.
Maka bagi penulis dengan kasus Libya ini intervensi kemanusiaan disalah gunakan oleh negara besar yang berkepentingan didalamnya sebagai kedok untuk melancarkan misi misi politik ekonomi untuk negara mereka sendiri. PBB pun seolah diam tidak berdaya atas kasus Libya, tentunya hal ini sudah pernah terjadi ketika AS menginvasi Irak. Yang dalam beberapa sudut pandang invasi AS ke Irak bukan malah semakin menjernihkan keadaan namun malah semakin memperkeruh kedaan dan mempercah belah rakyat Irak.
Penulis adalah : Ahli Hubungan Internasional