SIARAN PERS FOCAL POIN JPIK JATENG-DIY
Pengelolaan hutan di Pulau Jawa sudah berjalan 200 tahun lalu semenjak Pemerintah Belanda mengangkat Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda dengan tugas merehabilitasi kawasan hutan melalui kegiatan re-forestasi pada lahan-lahan hutan yang mengalami degradasi serius. Melalui Daendels untuk pertama kalinya diberlakukan peraturan hukum yang membatasi eksploitasi sumberdaya hutan Jati di Jawa sekaligus menerapkan tehnik ilmu kehutanan dan institusi modern di Hindia Belanda.
Sejak saat itu, kawasan hutan, tanah dan penduduk yang tinggal di sekitar hutan yang dahulu berada dibawah Residen beralih kepada Direksi Kehutanan. Dibawah Administratie der Boschwezen Negara memonopoli hutan dan menghapus hak milik umum atas hutan. Negara juga memberlakukan berbagai peraturan untuk membatasi masyarakat umum menebang pohon hutan. Pulau Jawa meskipun menduduki luasan ke-5 di Indonesia merupakan pulau terpadat di Indonesia.
Dengan luas daratan 127.568 km2, berdasarkan data Survei Penduduk antar Sensus tahun 2005, sebanyak 59% jumlah penduduk Indonesia tinggal di pulau Jawa dengan tingkat kepadatan penduduk mencapai 1007 jiwa/km2 (BPS. 2005). Dalam pengelolaan hutan Negara di Pulau Jawa, seluas 2,4 juta ha yang terdiri atas Hutan Produksi seluas 1.767.304 ha serta Hutan Lindung seluas 658.902 ha kewenangan pengelolaannya diberikan kepada Perum Perhutani melalui PP. 72/2010.
Mandat yang diberikan Pemerintah kepada Perum Perhutani ini didalamnya terdapat 5396 desa yang diketahui berada disekitar kawasan hutan dibawah pengelolaan Perum Perhutani. Desa-desa sekitar hutan ini memiliki interaksi cukup tinggi dan menggantungkan hidupnya pada sumberdaya hutan yang berada disekitarnya seperti untuk lahan pertanian semusim/tumpangsari, mengambil kayu bakar, mengumpulkan rumput untuk pakan ternak, menggembalakan ternak dan menebang kayu untuk perkakas rumah.
Sebagai pulau terpadat penduduknya, pola pengelolaan hutan di Jawa memiliki karakteristik yang khas yang sarat dengan masalah lingkungan dan social seperti degradasi tanah, krisis sumber dan kualitas air, hilangnya habitat alam serta kemiskinan. Terjadinya penyusutan dan kerusakan hutan yang marak sejak tahun 1990 di Indonesia telah memunculkan reaksi keras dari berbagai kalangan, baik masyarakat sipil maupun internasional terkait dengan pemberantasan penebangan liar, pembatasan eksploitasi atas hutan alam serta tuntutan jaminan kelestarian dan legalitas produk kayu dan industry berbahan kayu di Indonesia.
Situasi inilah mendorong Pemerintah melalui Kementerian Kehutanan menetapkan kebijakan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dalam upaya menekan pembalakan liar (illegal logging); menjamin legalitas kayu dan produk perkayuan Indonesia yang dipasarkan, baik dalam negeri maupun tujuan ekspor; menuju tercapainya Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL); meningkatkan kesejahteraan masyarakat; meningkatkan ketaatan terhadap peraturan yang berlaku; membangun budaya penggunaan produk legal, serta dalam rangka meningkatkan martabat bangsa Indonesia.
Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) Jawa Tengah dan DIY sebagai Lembaga Pemantau Independen (LPI) merupakan salah satu dari 5 unsur utama dalam implementasi SVLK selain Kementerian Kehutanan selaku regulator, Unit Manajemen Pemegang Izin, Komite Akreditasi Nasional (KAN) serta Lembaga Penilaian Kesesuaian (LPK). Keberadaan Pemantau Independen (PI) Kehutanan yang telah disahkan dalam Permenhut P.38/2009 jo P. 95/2014 merupakan kunci dalam memastikan akuntabilitas dan kredibilitas penerapan SVLK di Indonesia.
Masyarakat dari 6 kabupaten yaitu Jember, Lumajang, Magelang, Pemalang, Ciamis dan Tasikmalaya selaku pemantau independen elemen JPIK Jawa Tengah dan DIY sepanjang periode November 2015 hingga Februari 2016 telah melakukan pemantauan terhadap 6 wilayah kerja Perhutani yaitu KPH Jember, KPH Probolinggo, KPH Kedu Utara, KPH Pemalang, KPH Ciamis dan KPH Tasikmalaya. Beberapa temuan hasil pemantauan masyarakat ini menunjukkan buruknya kinerja tata kelola kehutanan yang dilakukan Perum Perhutani dimana, didalam kebijakan SVLK Perhutani dikategorikan sebagai pemegang hak kelola hutan Negara yaitu:
- Dinas Kehutanan Kabupaten Jember tidak pernah melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan RTT Perhutani KPH Jember sesuai ketentuan dan Dinas Kehutanan Kabupaten Temanggung tidak pernah menerima dokumen RTT Perhutani KPH Kedu Utara. Bahkan, tidak mengetahui apa dokumen RTT tersebut dan tidak pernah melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan RTT Perhutani KPH Kedu Utara.
Sebagaimana diketahui, berdasarkan ketentuan pasal 10 dan 11 Peraturan Menteri Kehutanan No. 60 Tahun 2011 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH) dan Rencana Teknik Tahunan (RTT) Di Wilayah Perum Perhutani, Administratur KPH Perhutani diperintahkan agar menyampaikan laporan realisasi RTT kepada Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten setiap 6 bulan dan setiap tahun, dan Dinas Kehutanan Kabupaten diperintahkan agar melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan RTT tersebut dan melaporkan hasilnya kepada Menteri melalui Dirjen.
2. Terjadi kegiatan penebangan yang diindikasikan diluar Rencana Teknik Tahunan (RTT), antara lain:
- penebangan pohon Damar seluas 6,8 hektar pada Petak 32A RPH Gucialit BKPH Senduro KPH Probolinggo yang lokasinya berada di sekitar wilayah sumber mata air Sumberuling Desa Gucialit Kecamatan Gucialit Kabupaten Lumajang. Dampak dari penebangan ini telah mengakibatkan berkurangnya debit air di mata air Sumberuling hingga + 50% dan masyarakat desa Gucialit mengalami kekurangan air;
- penebangan beberapa pohon Bendho di Petak 32A RPH Gucialit BKPH Senduro KPH Probolinggo tahun 2015. Pohon Bendho adalah pohon yang cukup baik menyerap air dan tidak termasuk didalam data tebangan yang diumumkan pada papan pengumuman Perhutani pada petak tersebut, namun dalam prakteknya pohon tersebut ditebang;
- penebangan pohon Sonokeling seluas + 35 hektar yang diindikasikan dilakukan di sekitar areal kawasan terlarang yaitu wilayah yang merupakan kawasan pesisir pantai Rowo Cangah Kabupaten Jember oleh KPH Jember;
- penebangan beberapa pohon yang diindikasikan dilakukan di areal kawasan terlarang yaitu sumber mata air Jumprit di wilayah kerja Perhutani KPH Kedu Utara yang secara administratif masuk wilayah Kabupaten Temanggung. Sumber mata air Jumprit adalah selain sebagai sumber air yang memenuhi kebutuhan air masyarakat Kabupaten Temannggung, juga merupakan kawasan wisata serta kawasan budaya spritual bagi umat agama tertentu;
Sebagaimana diketahui, berdasarkan ketentuan pasal 22 UU No.41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dan Peraturan Menteri Kehutanan No.60 Tahun 2011 Tentang Pedoman Penyusunan RPKH dan RTT di Wilayah Perhutani, dalam mengelola hutan di setiap blok dan petak, Perhutani menyusun rencana pengelolaan hutan untuk jangka waktu tertentu untuk masing-masing KPH Perhutani yang diberi nama Rencana Pelestarian Kawasan Hutan (RPKH) untuk jangka waktu 10 tahun dan Rencana Teknik Tahunan (RTT) untuk setiap tahun.
RTT adalah dokumen Perhutani yang menerangkan rencana kegiatan penanaman, pemeliharaan, pengamanan, penebangan dan lain-lain, agar kegiatan pengelolaan hutan oleh Perhutani memperhatikan prinsip-prinsip kelestarian hutan. Berdasarkan uraian hasil pemantauan masyarakat elemen JPIK Jawa Tengah dan DIY atas 6 wilayah kerja KPH Perhutani merekomendasikan kepada Pemerintah RI dan DPR RI sebagai berikut:
- Meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan audit terhadap Perhutani;
- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengevaluasi kembali pengelolaan hutan negara oleh Perhutani;
- Menyerahkan pengelolaan hutan kepada Desa melalui Badan Usaha Milik Desa sesuai dengan mekanisme UU Desa.
* Disampaikan dari Yogjakarta, 31 Maret 2016. Oleh : Andrianto Ketua Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) Jawa Tengah dan DIY, dan diberitakan Kang Jarno, Anggota Pemantau Independent Kehutanan Jember (JIK Jember) yang bernaung dalam Jaringan Pemantau Independent Kehutanan.